Materi Geofisika

Metode Seismik Refleksi

Tugas Pengantar Geofisika METODE SEISMIK REFLEKSI                            ...

Kamis, 31 Maret 2016

Metode Seismik Refleksi



Tugas Pengantar Geofisika

METODE SEISMIK REFLEKSI

                                        





     DISUSUN  OLEH

NAMA               : USMAN
NIM                    : 60400113008
KELAS                : FISIKA  A      

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2016
METODE SEISMIK REFLEKSI

I.       PENDAHULUAN
Metode seismik refleksi merupakan salah satu metode geofisika yang menggunakan perambatan gelombang elastik yang dihasilkan oleh suatu sumber pada permukaan kemudian berpropagasi ke bawah permukaan dan sebagian energinya direfleksikan dan direkam oleh penerima di permukaan. Gelombang elastik terdiri dari dua macam gelombang, yaitu gelombang body yang terdiri dari gelombang P dan gelombang S, dan gelombang permukaan,  yaitu  gelombang Love dan gelombang Rayleigh. Pada metode seismik refleksi, jenis gelombang yang  digunakan  yaitu  gelombang  body  terutama  pada  gelombang  P  atau gelombang kompresi. Gelombang kompresi ini atau disebut dengan gelombang suara, yaitu gelombang yang arah gerak partikelnya searah dengan arah rambatnya dan kecepatannya lebih besar dari gelombang S yang arah gerak partikelnya tegak lurus dengan arah rambatnya.
I.1. Hukum Snellius
Hukum Snellius menunjukkan hubungan antara sudut refleksi dan sudut refraksi muka gelombang pada batas antar medium yang memiliki perbedaan kecepatan gelombang.
Gambar berikut memperlihatkan penjalaran secara periodik gelombang bidang  yang melewati permukaan datar perbatasan antara dua medium. Pada medium pertama panjang gelombangnya adalah , sedangkan untuk medium kedua panjang gelombangnya adalah
 
Gambar 1. Hukum Snellius, penjalaran sinar gelombang melalui medium berbeda
Pada saat gelombang melewati daerah perbatasan antara dua medium maka harus berlaku kontinuitas untuk gelombang refkejsu dan gelombang transmisi. Jika kontinuitas tidak berlaku maka muka gelombang di medium 1 akan mendahului atau justru tertinggal dari muka gelombang di medium 2. Untuk menghindari hal ini dan mempertahankan kontinuitas selama melewari daerah batas dengan panjang gelombang yang berbeda maka gelombang refleksi dan gelombang transmisi haruslah memiliki besar sudut yang berbeda terhadap garis normal bidang batas.
I.2. Prinsip Fermat
Dalam  penjalarannya, gelombang akan memenuhi prinsip Fermat yaitu: “Gelombang yang menjalar dari satu titik ke titik yang lain akan memilih lintasan dengan waktu tempuh tercepat”. Jejak sinar juga menentukan arah dari aliran energi.  Diantara  serangkaian  sinar  dari  suatu  titik  ke  titik  yang  lain,  prinsip Fermat dapat diaplikasikan untuk membuang semua jejak sinar kecuali satu jejak sinar yang memiliki waktu tempuh paling cepat.  Prinsip fermat digunakan dalam menentukan titik pemantul (reflektor) pada penjalaran gelombang refleksi. Kita ambil contoh pada penjalaran gelombang pantul dalam medium tak homogen. Gambar 2 menjelaskan bagaimana ray akan  memilih satu jalur dari sekian banyak ray dengan waktu tempuh minimum.
Gambar 2. Model Jejak Gelombang pada medium non-homogen

Sesuai dengan prinsip Fermat maka dalam menentukan titik reflektor maka haruslah:
(TAP + TPB) direflektor minimum  = titik pemantul     …….(1)

Dari rumusan diatas, jika kita menjalarkan gelombang dari kedua titik (titik A dan titik B) menuju titik-titik pemantul (P1,P2,P3,P4,...Pn) maka kita dapat menentukan titik pemantul yang sebenarnya dengan membandingkan nilai-nilai dari (TAP1 + TBP1), (TAP2 + TBP2), (TAP3 + TBP3) … (TAPn + TBPn). Dari hasil penjumlahan diatas, titik pemantul P tertentu yang memberikan hasil penjumlahan terkecil adalah titik pemantul yang dilewati oleh sinar (rays).
I.3. Prinsip Huygens
Gelombang dalam media yang serba sama (homogen) menyebar dari titik sumber sebagai bola yang mengembang dan selama proses pengembangannya gelombang ini  akan  menciptakan  muka-muka  gelombang.  Prinsip  Huygens  menyatakan bahwa muka gelombang yang tercipta juga bersifat sebagai sumber gelombang baru. Prinsip Huygens ini dapat diilustrasilkan seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Prinsip Huygens

Prinsip Huygens menjelaskan bahwa setiap titik   pada   muka   gelombang merupakan sumber gelombang baru yang menjalar dalam bentuk bola (spherical). Jika gelombang bola menjalar pada radius yang besar, gelombang tersebut dapat diperlakukan sebagai bidang. Garis yang tegak lurus dengan muka gelombang tersebut di sebut wave-path atau rays atau sinar.
II.      MIGRASI DATA SEISMIK
Sejak diperkenalkan perekaman data seismik secara digital, maka proses pengolahan data seismik menjadi lebih mudah dan lebih cepat dilakukan. Ada tiga tahapan penting dalam pengolahan data seismik, yaitu: dekonvolusi, stacking, dan migrasi. Dekonvolusi dilakukan sepanjang sumbu waktu, tujuannya untuk meningkatkan resolusi dengan mengecilkan bentuk sinyal (wavelet). Stacking menyatukan dimensi offset, mengecilkan volume data ke dalam satu bidang pada offset nol, tujuannya untuk meningkatkan rasio sinyal terhadap noise (S/N ratio), sedangkan migrasi umumnya diterapkan pada data yang sudah maupun belum di- stack (ditumpuk), tujuannya untuk meningkatkan resolusi lateral  dengan menghilangkan  efek  difraksi  dan  memindahkan  events’  lapisan  miring  pada posisi yang sebenarnya (Gambar 4).
Gambar 4. (a) Sebelum dilakukan migrasi dan (b) setelah dilakukan migrasi (Yilmaz, 2001)
Proses migrasi  yang  menghasilkan  penampang  migrasi  dalam  kawasan  waktu disebut migrasi waktu. Migrasi ini umumnya berlaku selama variasi kecepatan secara lateral kecil hingga sedang. Jika variasi kecepatan lateral besar, migrasi waktu  tidak  dapat  menghasilkan  gambar  bawah  permukaan  dengan  baik  dan benar. Dalam hal ini perlu digunakan teknik migrasi kedalaman, dimana hasil migrasi kedalaman akan ditampilkan dalam penampang kedalaman. Dengan demikian, sebetulnya ada dua konsep migrasi yang utama dan dapat dibedakan dari  proses  migrasinya  sendiri  serta  hasil  akhirnya,  yaitu  migrasi  waktu  dan migrasi kedalaman (Juwita, 2001).
Dengan kata lain, migrasi data seismik adalah suatu proses untuk memetakan suatu penampang menjadi penampang yang lain dimana event seismik dikembalikan posisinya pada tempat dan waktu yang tepat. Migrasi dapat diklasifikasikan dalam 2 cara yaitu: berdasarkan kawasan migrasi bekerja dan berdasarkan algoritma migrasi.



Berdasarkan kawasan migrasi bekerja, migrasi dibedakan menjadi:
1.      Time Migration dan Depth Migration
Time Migration merupakan suatu metode migrasi yang lebih sederhana dari pada Depth Migration. Depth Migration merupakan metode migrasi  yang lebih  akurat  daripada  Time Migration  pada  daerah  yang memiliki  variasi kecepatan.
2.      Post Stack Migration dan Prestack Migration
Post Stack Migration adalah metode yang melakukan proses migrasi setelah proses stack. Prestack Migration merupakan metode yang melakukan proses migrasi sebelum proses stack (Aina, 1999).
II.1. Prinsip Dasar Migrasi Seismik
Prinsip  dasar dari  migrasi  seismik  dijelaskan  pada  Gambar  5,  terlihat  sebuah reflektor miring CD hasil rekaman seismik. Asumsikan bahwa CD termigrasi ke C’D’ (posisi yang sebenarnya secara geologi) dan titik E’ pada C’D’ hasil migrasi dari titik E pada CD.
 Gambar 5. Mekanisme migrasi secara manual (Chun, 1981)

Dari gambar di samping, dapat diturunkan persamaan-persamaan sebagai berikut:


dengan t adalah traveltime (s), V  adalah kecepatan migrasi (kecepatan medium), adalah jarak dari titik A dan B, adalah selisih waktu antara titik C dan D, dx  adalah horizontal time displacements, dt adalah vertical time displacements, t adalah event time pada posisi yang belum dimigrasi,   dan  adalah event time pada posisi yang telah dimigrasi
II.2. Migrasi Sebagai Penjumlahan Difraksi
Operasi migrasi merupakan penjumlahan difraksi. Dasar pemikiran untuk pendekatan ini dapat diterangkan dengan menggunakan prinsip Huygens. Berdasarkan  prinsip  ini,  reflektor  seismik  dapat  dipandang  sebagai  kumpulan titik-titik difraktor yang berdekatan (Gambar 6).
Gambar 6. Gambar reflektor seismik menurut Prinsip Huygens (Aina, 1999)
Migrasi pada penampang seismik diperoleh dengan mengembalikan setiap event difraksi yang berbentuk hiperbola ke titik asalnya (puncak). Setiap titik pada hasil penampang migrasi diperoleh dengan menambahkan semua nilai data sepanjang difraksi yang berpusat pada titik itu (Aina, 1999).
III.3. Metode Migrasi Kirchhoff
Migrasi Kirchhoff adalah suatu migrasi yang didasarkan pada diffraction summation (Schneider, 1978). Migrasi Kirchhoff dapat dilakukan dalam suatu migrasi  kawasan  waktu  menggunakan  kecepatan  RMS  dan  straight  ray,  atau dalam migrasi kawasan kedalaman menggunakan kecepatan interval dan ray tracing.
Gambar 7. Metode migrasi Kirchhoff dengan prinsip penjumlahan difraksi (Bancroft, 1997)

Menurut prinsip tersebut, amplitudo pada posisi refleksi yang sebenarnya akan dijumlahkan secara koheren sepanjang kurva difraksi Gambar 7 (Bancroft, 1997). Keuntungan  utama  dari  migrasi  Kirchhoff  ini  adalah  penampilan  kemiringan curam yang baik. Sedangkan salah satu kerugiannya adalah kenampakan yang buruk jika data seismik mempunyai S/N yang rendah (Schneider, 1978).
III.4. Aperture
Aperture adalah jarak atau cakupan suatu data yang akan dimasukkan ke dalam perhitungan pada migrasi Kirchhoff. Aperture harus dapat mencakup setiap reflektor yang menjadi target agar amplitudo dapat dimigrasi ke posisi reflektor sebenarnya. Skema dari aperture ditunjukkan pada Gambar 8.

Jika aperture tidak cukup lebar, maka akan terdapat amplitudo yang tidak termigrasi. Untuk keberhasilan proses imaging ini aperture haruslah cukup lebar untuk mencakup garis sinar refleksi dari setiap target. Aperture setidaknya harus dua kali lebih lebar dari jarak perpindahan lateral antara titik perekaman dengan titik refleksi atau bisa juga merupakan jarak daripada far offset-nya.
Gambar 8. Skema aperture dari migrasi (Fagin, 1999)

Dari di atas, diperoleh persamaan (Fagin, 1999):
Aperture = 2X                         …… (7)
X = Z * tan                          …… (8)
S-Z = Z * (1/Cos  - 1)                      …… (9)
Aperture dapat juga dirumuskan dengan (Paradigm Geophysical, 2007):
Jumlah CMP di dalam Aperture                 ….. (10)
dengan X adalah perpindahan horizontal (m), S-Z adalah perpindahan vertikal (m).

III. 4. Prestack Depth Migration dan Variasi Kecepatan Lateral
Metode Prestack Depth Migration adalah metode yang melakukan proses migrasi dalam  kawasan  kedalaman  (depth)  sebelum  proses  stack.  Dengan  melakukan metode Prestack Depth Migration, topografi dasar laut yang kompleks, struktur bawah permukaan yang kompleks dan variasi kecepatan yang kompleks dapat digambarkan dengan lebih baik dibandingkan dengan metode Post Stack Time Migration. Pada migrasi konvensional (Post Stack Migration) migrasi dilakukan sesudah stack dan hanya bersifat memindahkan atau memetakan karakter reflektor yang sudah ada pada penampang stack, maka pada Prestack Depth Migration, migrasi  dilakukan  sebelum  stack.  Seluruh trace pada CDP gather dimigrasi dengan pendekatan yang lebih akurat sesuai dengan gerak perjalanan masing- masing gelombang seismiknya. Salah satu hasil dari pengolahan Prestack Depth Migration adalah CRP  gather yang dicirikan dengan setiap  trace mempunyai kedalaman  yang  sama  untuk  tiap  reflektor  yang  sama.  Proses  stacking  pada metode Prestack Depth Migration dilakukan pada CRP gather suatu lintasan seismik.  Hasil  akhirnya  adalah  depth  section  (penampang  kedalaman) pada lintasan seismik tersebut.
Keunggulan metode Prestack Depth Migration terhadap metode Post Stack Time Migration adalah bahwa Prestack Depth Migration memakai pendekatan perjalanan   gelombang   (ray   tracing)   pada   lapisan   yang   sesuai   kenyataan, sedangkan Post Stack Time Migration memakai pendekatan perjalanan gelombang lurus pada lapisan yang horisontal (straight ray), tidak memiliki variasi kecepatan lateral (kecepatan perlapisan konstan). Dengan demikian, metode Prestack Depth Migration diharapkan memberikan hasil pengolahan data yang lebih baik pada daerah yang memiliki variasi kecepatan lateral, atau struktur kompleks, misalnya kemiringan (dip) dan patahan (Furniss, 1999).
Variasi kecepatan lateral sering dikarenakan kemiringan yang terjal. Oleh karena itu, algoritma dari migrasi kedalaman harus tidak hanya menangani variasi kecepatan secara lateral tetapi juga mencitrakan dipping event secara akurat.
Ketika titik difraksi berada pada lapisan kedua (Gambar 9a),  maka raypath-nya dibelokan  menurut  hukum  Snell.  Hasilnya  pada  zero-offset  section  hampir mendekati hiperbola.
Gambar 9. Sketsa variasi kecepatan lateral (Yilmaz, 2001)
Ketika dilakukan migrasi waktu, kurva difraksi akan menyusut pada puncaknya dan posisi puncaknya tepat pada posisi lateralnya. Namun ketika titik difraksi berada pada lapisan dengan variasi kecepatan lateral yang besar (Gambar 9b), raypath dibelokkan dengan sangat kuat pada batas lapisan sehingga respon pada zero-offset section tidak lagi seperti hiperbola dan puncaknya mengalami pergeseran. Ketika migrasi waktu dilakukan, kurva difraksi menyusut pada puncaknya tetapi tidak fokus dan mengalami pergeseran dari posisi sebenarnya.
 Berbeda halnya dengan migrasi kedalaman, selain menjumlahkan difraksi dan menempatkan pada puncaknya, migrasi ini juga menempatkan dengan fokus yang lebih baik dan pada posisi lateral sebenarnya. Efek variasi kecepatan lateral akan semakin terlihat pada struktur yang lebih kompleks (Gambar 9c).
III.5. Common Offset Pre Stack Migration dan Analisis Kecepatan Migrasi
Kirchhoff Prestack Migration dapat dilakukan dengan menjumlahkan keseluruhan titik data masukan yang terletak di sepanjang kurva difraksi.
Gambar 10. Gambar hasil migrasi yang dilakukan dengan kecepatan yang tepat pada penampang offset dan CRP gather. (a) Penampang offset yang dimigrasi secara individu dan (b) Gambar gather-gather yang datar setelah Prestack Migration  (Aina, 1999)
Prosedur penjumlahan ini dapat dikerjakan dalam satu langkah, tetapi akan lebih menguntungkan bila mengerjakan migrasi pada tiap bidang offset dengan cara terpisah, kemudian dilakukan stack di semua offset secara bersamaan untuk membuat gambar migrasi. Pemisahan seperti itu memungkinkan hanya dengan migrasi Kirchhoff. Kirchhoff Prestack Migration sering dilakukan dalam dua langkah.  Langkah  pertama:  menjumlahkan  titik-titik  data  dengan  offset  yang sama, dan langkah kedua: menjumlahkan semua offset (stack). Aliran kerja ini menguntungkan  karena  langkah-langkah  ini  memasukkan  tahap  untuk  analisis kecepatan.

Gambar 11. CRP gather yang bergantung pada kecepatan migrasi yang dihasilkan. (a) CRP gather yang over-corrected dan (b) CRP gather yang under-corrected  (Juwita, 2001)

Pada gambar sebelumnya (gambar 10) digambarkan proses kedua langkah ini, yaitu pada saat model kecepatan itu sesuai, maka tiap bidang offset termigrasi dengan tepat CRP gather-nya datar dan dapat di-stack secara bersamaan. Pada saat model kecepatannya salah, CRP gather menjadi tidak datar (Gambar 13). Fenomena gather menjadi tidak datar dapat diterangkan sebagai berikut, ketika kecepatan migrasi menjadi sangat lambat, perhitungan travel time sepanjang sinar menjadi terlalu lama. Efek ini kelihatan lebih besar pada offset yang jauh daripada offset yang dekat, sehingga event pada CRP gather tergeser ke atas (Gambar 11a). Jika kecepatan migrasi terlalu  cepat  hasilnya  menjadi  under-corrected  gather  (Gambar  11b)  (Juwita, 2001).
III.        PEMODELAN KECEPATAN
Pada  umumnya,  pemodelan  kecepatan  yang  digunakan  dalam  PSDM ialah Velocity Analysis Model Based. Data yang digunakan dalam proses ini adalah time gathers, dan keluarannya adalah model kecepatan final (final velocity model) dalam bentuk kedalaman dan peta kecepatan (jika diinginkan untuk membuat kubus kecepatan) untuk model 3D, atau kedalaman dan penampang melintang kecepatan (digunakan untuk membuat penampang kecepatan) untuk model 2D (Fagin, 1999).
Gambar 12. Alur kerja velocity model building (Fagin, 1999)

Terdapat dua fasa untuk membuat model kecepatan (Gambar 12). Fasa pertama menggunakan pendekatan sekuensial layer stripping, dimana setiap lapisan dianalisis berturut-turut. Informasi sesimik pada time gather dianalisis untuk membuat model kecepatan awal. Pada fasa kedua, model kecepatan awal tersebut diperbaiki dengan menggunakan pendekatan global yang berdasarkan analisis informasi dalam depth gather, yang merupakan hasil dari Prestack Depth Migration. Pada fasa kedua ini diterapkan proses iteratif yang lebih baik daripada proses  sekuensial  dan  menggunakan  Prestack  Depth  Migration  berturut-turut untuk memperbaiki semua lapisan. Setiap tahapan pada proses perbaikan ini seharusnya menghasilkan depth gathers yang lebih baik (datar).
III. 1.  Transformasi Dix
Dix (1955) menurunkan persamaan untuk traveltime, dengan mempertimbangkan raypath bending, pada kasus banyak lapisan yang datar. Dix berpendapat bahwa, untuk  sudut kecil Vrms dapat digunakan pada formula moveout dan memprediksi traveltime untuk beberapa offset. Vrms didefinisikan sebagai:
                                     …… (11)
dengan  Vint-i  adalah  kecepatan  interval  tiap  lapisan, ti adalah  ketebalan  tiap lapisan. Dix juga menurunkan formula untuk kecepatan interval dari traveltime dan Vrms , dan sering disebut sebagai persamaan Dix:
                …… (12)
Dengan Vint(A-B) adalah adalah kecepatan interval antara permukaan A dan B, TA adalah  normal  incidence  traveltime untuk  permukaan  A,  TB adalah  normal incidence traveltime untuk permukaan B (Fagin, 1999).
III.2. Coherency Inversion
Coherency inversion memodelkan kurva ray tracing untuk dibandingkan dengan kurva waktu tempuh sebenarnya dari perekaman yang memiliki kecocokan terbaik dengan refleksi koheren dari gather. Pada ray tracing tidak menggunakan asumsi hyperbolic moveout, memperhitungkan variasi kecepatan baik secara lateral maupun vertikal, refraksi dan struktural dip dalam model. Coherency inversion menggunakan pendekatan layer stripping, pemodelan kecepatan dilakukan berurutan satu persatu dari lapisan atas ke lapisan bawahnya secara berurutan. Pemodelan  kecepatan  pada  suatu  lapisan  memerlukan  kecepatan  interval  dan depth model semua lapisan di atasnya. Pada lapisan yang dimodelkan diberikan kisaran nilai kecepatan untuk membuat model zona waktu tempuh, model ini dikorelasikan dengan rekaman CMP gather untuk menentukan kecepatan interval yang optimum pada lapisan tersebut. Semblance dihitung pada tiap CMP untuk menghitung korelasi antara rekaman CMP gather dengan pemodelan kurva waktu tempuh   untuk   tiap   kecepatan   interval   yang   digunakan,   semblance   tinggi menunjukkan kecepatan yang tepat untuk memdatarkan gather (Mualimin, 2004).



 Gambar 13. Teknik coherency inversion dengan menghitung semblance pada kurva moveout sepanjang model-based trajectories (Fagin, 1999)

Pada coherency inversion identifikasi kecepatan interval dilakukan dengan membuat kurva moveout yang sesuai dengan reflektor (Gambar 13). Kurva moveout ini tidak harus hiperbolik yang penting memiliki koherensi dengan reflektor.  Coherency  inversion  memberikan  hasil  untuk  data  seismik  dengan empat lapisan cukup akurat dibandingkan dengan Dix based (Fagin, 1999).
III. 3. Tomography
Model kecepatan awal yang diperoleh dari coherency inversion digunakan untuk melakukan proses PSDM. Pendekatan layer stripping dalam coherency inversion seringkali menghasilkan akumulasi error pada lapisan yang lebih dalam bila pada lapisan di atasnya tidak tepat, sehingga akan menghasilkan error waktu tempuh. Untuk itu dilakukan refining model secara iteratif dengan global tomography. Metode ini disebut global tomography, karena perubahan parameter model kecepatan dan depth dilakukan secara simultan tidak berdasaran pendekatan layer stripping. Pada studi yang telah dilakukan biasa digunakan horizon based tomography dimana model kecepatan interval dari coherency inversion dan residual moveout CRP depth gather sebagai data masukannya. Depth model diperbaiki secara iteratif dengan memodifikasi interface kedalaman dan kecepatan lapisan untuk membuat gather menjadi flat. Dengan ray tracing error dari tiap lapisan digunakan untuk membuat matrix tomography sepanjang lintasan gelombang. Error dari tiap lapisan diselesaikan secara simultan menggunakan metode  least  square  untuk  meminimalisasi  kesalahan  waktu  tempuh  yang melewati seluruh model (Mualimin, 2004).
 Dengan demikian, model based tomography digunakan dengan prinsip mengoreksi kecepatan dari hasil residual moveout dan ray tracing pada kecepatan model. Masukan pada metode ini adalah depth gather untuk meng-update kecepatan interval dengan membuat semblance residual sepanjang horison. Model based tomography digunakan untuk mencari nilai error kecepatan dan meng-upgrade kecepatan menjadi kecepatan yang benar (Fagin, 1999).
Gambar 14 merupakan penggambaran skematik tomography. Pada bagian ini tiap subsurface terdiri atas beberapa bagian dari lapisan-lapisan model dan tiap lapisan terdiri dari deret sel atau matrix tomography. Nilai delay, untuk sebuah source-receiver offset pada sebuah lokasi CRP, didefinisikan oleh analisis residual moveout. Pola lintasan sinar melintasi model yang ditunjukkan untuk lokasi CRP dan offset. Tiap sel lapisan berasosiasi dengan pola lintasan. Warna abu-abu menunjukkan identifikasi raypath transits. Dengan informasi yang baik mengenai lokasi CRP dan offset-nya, prosedur tomography memberikan nilai turunan dari traveltime delay atau kemajuan (dalam hal ini perubahan kecepatan) yang dibutuhkan dalam setiap sel. Perubahan total traveltime yang ada identik dengan depth gather residual moveout.
Gambar 14. Penggambaran skematik penggunaan ray tracing dalam tomographic updating (Fagin, 1999)
Referensi
Al-Sadi, H.N. 1980. Seismic Exploration. Technique and Processing. Birkhauser Verlag.
Dobrin, M.B. 1976. Introduction to Geophysical Prospecting. McGraw-Hill.
Kinsler, L.E., A.R. Frey, A.B. Coppens, and J.V. Sanders. 1982. Fundamental of Acoustics. John Wiley and Sons.
Telford, W.M., L.P. Geldart, R.E. Sheriff, P.A. Keys. 1976. Applied Geophysics. Cambridge University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar